Friday, July 20, 2007

Surat Untuk Kakak di ITB

Kabarnya kak,
Tanah-tanah itu terbungkam
Menyuarakan hati paling dalam
Antara harga suatu bangsa dan harga sekelompok jiwa
Dan suara kakak yang keras telah membicarakan keadilan
( Tapi keadilan milik siapa?)

Beritanya kak,
Kakak-kakak terbungkam
Untuk menyuarakan hati paling dalam

Lalu kalau sekarang diam lagi
Mengapa tak dari dulu diam saja
Toh antara diam dan bicara
Tak ada beda

(Pikiran Rakyat, 21 Januari 1990)

Surat

Cerpen MOH. SYAFARI FIRDAUS
Pajajaran, 23 April 1998: 03.26

Ass. Wr. Wb.

Dini yang baik,

Maaf kalaupun surat ini agak telat saya kirim. Beberapa hari belakangan, badan saya agak sukar untuk diajak kompromi. Entahlah. Mungkin ada sedikit masalah dengan sirkulasi dan metabolisme dalam tubuh saya....
Malam ini, tepatnya malam tadi, saya menonton lagi “Dick Tracy” dan “Blade Runner” yang ditayangkan RCTI dan Indosiar. Film bagus, meski saya sendiri tidak terlalu khusyuk menyimaknya karena harus saya tonton secara bergantian pada saat yang bersamaan. Mungkin itu salahnya saya, tidak mau mengorbankan salah satu di antara keduanya. Saya menginginkan “Dick Tracy” karena tidak ingin ketinggalan untuk menikmati aksen kontras, kesan buram dengan polesan pernik warna-warni yang kadang lucu dan ganjen garapan Warren Beatty itu? Sementara, saya pun tidak ingin kehilangan “Blade Runner”, terutama untuk menikmati garapan musiknya yang ditata Vangelis; sebuah komposisi perpaduan musik koral --atau mungkin karakteristik musik zaman barok-- dengan style instrumen kekinian (tapi entahlah, pengetahuan saya tentang musik sungguh sangat payah!) yang dimainkan secara impresif sehingga hasilnya bisa menyuguhkan imaji futuristik seperti yang ditawarkan filmnya itu sendiri.
Sepak bola menjadi penutup acara menonton saya. Denmark vs Norwegia, partai uji coba sebagai pemanasan menjelang Piala Dunia '98. Denmark cuma bagus pada awal-awal babak pertama. Seterusnya mereka kedodoran. Stamina mereka jelek, atau barangkali tim dinamit ini ketiban frustrasi, enggak bisa bikin gol meskipun mereka menguasai jalannya pertandingan. Alhasil, di hadapan publiknya sendiri, Denmark akhirnya dipaksa harus takluk 0-2 oleh Norwegia, yang jika dilihat dari kualitas permainan, sebenarnya masih sekelas di bawah mereka. Tapi ngomong-ngomong, apa Dini suka (nonton) sepak bola?
Itu dongeng saya sebelum saya menulis surat ini. Kini, saya ditemani musikalisasi puisi-puisinya Sapardi.

Dini yang baik,

Berkaitan dengan suratmu yang telah saya terima itu.
Entah bagaimana saya harus menanggapinya. Yang jelas, saya sungguh menikmati apa yang tertutur dalam surat bertulis tangan itu. Sederet idiom dan frasa metaforis yang tersusun di situ, sempat membuat saya jengah tersipu-sipu. Seringkali pula mengharuskan saya untuk betah termangu dan cukup terganggu untuk tahu; ke mana arah kata-kata ini ingin lari? Saya agak gelagapan, Dini, meskipun saya sendiri telah mencoba untuk berkali membacanya. Berbagai teori dan metode analisis teks yang sempat saya pelajari, dalam menghadapi ini ternyata harus berakhir dengan kerontokan. Barangkali, saya memang masih membutuhkan kehadiran seperangkat referensi pendukung yang sampai saat ini memang masih terasa asing, belum bisa saya kenali. Pada lembar pertama yang impresif itu, yang diteruskan dengan lembar keduanya yang justru terkesan meletupkan aroma sentimentil, seperti muncul dari energi-ekspresif yang tertahan, pada akhirnya hanya mampu saya terjemahkan sebatas stilistiknya saja. Boleh jadi, saya pun tampaknya harus mengasah diri agar bisa lebih peka untuk mencernanya; suara gelegar rapuh tanpa ruh/ usia menghitung harinya sendiri/ keriput hatiku, mengkerut/ aku redam dalam air, biar mekar/ entah berapa lama//; sebuah pernyataan aforistik yang sungguh berbekas bagi saya. Bagian ini, kalaupun kemudian dilepaskan dari konteks keutuhan teks surat secara keseluruhan, saya boleh yakin itu adalah puisi.
Membaca surat itu sebenarnya saya sempat merasa kaget juga. Kiranya saya sudah telanjur banyak bicara, seperti kepada seorang kawan yang telah lama mengenal saya.
Saya memang sempat mengutipkan Voltaire (yang saya temukan dalam Si Lugu); singkatnya, rasa cinta senantiasa akan sanggup menyulap seseorang menjadi penyair. Betul, Dini, saya sendiri mengakui dan mungkin sekaligus juga meyakininya. Jawaban itu pula yang biasa akan saya berikan kepada hampir setiap orang yang bertanya seperti juga ketika dulu Dini menanyakannya. Bahkan saya seringkali berkelakar, saya baru akan bisa menulis puisi jika saya berhasil jatuh cinta dan berusaha sebisa-bisanya untuk sakit hati! Tapi, Dini, itu tidak lantas mengartikan, demikianlah pula kredo saya. Dalam hal ini, apa yang telah saya sebut tadi itu hanya berlangsung di tatanan paling permukaan. Kalaupun pengalaman semacam itu kemudian harus saya adopsi dalam proses penulisan, biasanya itu hanya akan diposisikan sebagai aksentuasi untuk memberikan polesan kesan.
Sementara, perihal kekentalan nafas cinta sebagaimana yang Dini temukan dalam puisi-puisi saya, sejujurnya saya katakan, terkadang saya sendiri sulit untuk bisa mengerti mengapa puisi saya kebanyakan justru meruapkan aroma seperti itu. Padahal, pada saat proses penulisannya seringkali saya tidak pernah membawa pretensi dan tendensi untuk menulis sajak cinta. Saya pun tidak tahu persis, Dini, seperti juga tanyamu di surat itu, apakah segala yang telah saya tulis dalam puisi-puisi itu memang merupakan representasi, sebagai bentuk perwujudan dari cinta saya yang tengah hiruk-pikuk dan berkecamuk? Boleh jadi, "ya", Dini, tapi bukankah sangat terbuka pula kemungkinannya untuk "tidak"?
Sampai saat ini saya masih tetap yakin, segala sesuatu yang kemudian kita ucapkan lewat bentuk puisi (kesusastraan) tidaklah selalu harus bersandar pada landasan biografis atau realitas empiris-pragmatis. Masih tersimpan intuisi, imaji, dan fantasi; meskipun benar, hal itu pun akan banyak dijiwai oleh sederet pengalaman yang mengelilingi hidup dan kehidupan kita; ada semacam afeksi dan empati, yang secara bersamaan semuanya itu akan saling melengkapi. Bahkan, kalaupun harus menyitir Freud, dalam satu tesisnya kurang lebih ia menyatakan, seni --dalam hal ini sastra, puisi dalam perbincangan kita-- akan memungkinkan untuk dapat melipatgandakan eksistensi dengan mengaktualisasikan sederet kemungkinan yang tak dapat terwujud dalam kehidupan nyata. Di sini, si kreator pun akan dimungkinkan untuk bisa memuaskan narsismenya. Dengan kata lain, sastra akan bisa menjadi sarana untuk mengartikulasikan bagian-bagian yang hilang dan tidak ditemukan dalam realitas konkret seorang individu. Boleh jadi, ketika seseorang harus berbicara perihal cinta, ia sebenarnya justru (tengah) kehilangan dan berusaha untuk menemukan bagian itu di dalam dirinya.
Tapi, Dini, saya sendiri tidak ingin menafikan suatu kenyataan bahwa pada satu ketika saya memang sempat dibanjiri oleh wacana seorang perempuan; sebuah periode ketika diri saya harus dikocok dan dibenturkan pada sekian pilihan. Saya tidak tahu, apakah di sana telah tersimpan "cinta" itu? Yang jelas, ia adalah seorang kawan bercakap yang tak habisnya menjelmakan kecemasan demi kecemasan, terus meradang mencari muara tempat berlabuh! Ya, Dini, saya seperti diajak kembali untuk bercakap dengan diri saya sendiri, untuk mengenali dan menemukan wilayah yang harus saya jejaki;
di sana hanya tinggal derai rambutmu, menyibakkan sekian sajak dari sisa-sisa akhir periode cinta yang kutanggalkan bersama hamlet dan macbeth. kini, segalanya telah berakhir: pada laut yang dialirkan angin, dikutipkan embun-embun, dipecahkan gagapnya percakapan. Matamu, telah mengeja jatuhnya senja, berkubur satu-satu dalam riuh pesona lampu-lampu, seperti memburu perjalanan seorang abimanyu di padang kuru-
**
23 April 1998: 14.20

Dini yang baik,

Memang semua ada usianya. Tetapi kenapa kita mesti terlalu cemas karenanya? Toh, waktu akan tetap terus melaju ke arah yang ia tuju, tanpa akan pernah mau menunggu untuk menghentikan sejenak pun perjalanannya bagi kita. Sebagai seorang pesimistis, saya hanya bisa berharap semoga ia akan bisa mengajarkan kita kesabaran.
Begitu pun halnya dengan tawaranmu itu, Dini. Saya jadi teringat pada Gertrude, tokoh gadis buta dalam novelnya Andre Gide, Simfoni Pastoral (mudah-mudahan Dini pernah membacanya). Dalam kebutaannya, Gertrude justru bisa lebih menikmati hidup, bahkan jatuh cinta pada pendeta yang telah sekian lama merawat dan mendidiknya. Namun, hal ini berbalik menjadi sesuatu yang begitu menyesakkan, justru setelah kebutaan Gertrude bisa disembuhkan. Tatkala gadis itu bisa melihat secara langsung segala realitas yang tersimpan di sekelilingnya, terlebih di saat ia mengetahui bagaimana kesedihan yang terpancar di mata istri si pendeta yang dicintainya, Gertrude akhirnya lebih memilih bunuh diri. Meskipun gagal, tapi ia tetap mati.
Dengan kata lain, ada isyarat bahwa kenyataan memang sering memberi gambaran lain yang jauh dari pembayangan. Mungkin betul, seperti apa kata pepatah; "kabar selalu lebih indah dari rupa." Itu pula yang mungkin telah mendorong saya, atau kita, untuk menulis puisi; kenyataan paling buruk sekalipun akan bisa kita tulis seindah-indahnya.
Ya, cukuplah surat-surat ini saja, mungkin lebih baik. Dengan waktu yang mungkin mengajarkan kesabaran itu, biarlah ia yang akan mempertemukannya. Dan sebagai seorang yang pesimistis, saya cukup untuk berkata; aku pun tahu: sepi kita semula/ bersiap kecewa, bersedih tanpa kata-kata/ pohon-pohon pun berbagi dingin di luar jendela/ mengekalkan yang esok mungkin tak ada// (bait terakhir puisi “Di Beranda Ini Angin Tak Kedengaran Lagi”, Goenawan Mohamad, 1966).
(Jika saya mencatatkan peristiwa ini menjadi puisi, saya akan menuliskannya begini: "tak perlu ada cinta buat rindu di antara kita. Jangan marah. Ini hanya sekadar tanda mata untuk menjaga kesedihan demi kesedihan yang belukar membangun rumah kita?")
**
25 April 1998: 00.52

Beberapa saat setelah “A Bridge Too Far” usai (beberapa hari ini kerjaan saya nonton tv) ....

Dini yang baik,
Terkadang saya sendiri sangsi, apakah benar saya tengah berada dalam sebuah pencarian? Kalaupun benar, mengapa saya tidak mengetahui apa yang tengah saya cari? Ataukah, justru karena saya tidak tahu apa yang tengah saya cari itu, pada saat-saat ini saya tengah mencarinya? Saya tengah mencari apa yang saya cari? Dalam pencarian seperti itukah?
Saya belum bisa memastikannya, Dini. Keraguan selalu saja datang menusuk-nusuk, berpihak pada kecemasan yang seperti tak berujung. Begitu pula dengan tanyamu tentang rumah, kiranya apa yang mesti saya katakan, sementara kata "rumah" masih menjadi ketakutan yang senantiasa memburu saya ke mana pun! Sungguh, Dini, rumah mungkin adalah ibu dari segala kecemasan saya itu. Ya, betapa kata itu sungguh terasa obsesif. Sudah terlalu sering saya menyebutnya dalam sejumlah tulisan saya; rumah yang begitu dekat dengan keseharian saya, tapi terkadang begitu asing pula untuk bisa saya kenali.
Akan tetapi, tentu saja setiap orang berhak atas rumah, Dini, siapa pun, tanpa terkecuali. Meskipun pada akhirnya akan mengalungkan kembali kecemasan demi kecemasan, saya pun selalu berharap untuk bisa membangun sebuah rumah. Sebab, pada suatu hari nanti mungkin saya ingin menyambanginya; menemukan genangan kerinduan, meski ia hanya akan mencatatkan sunyi.
Ya, setiap orang berhak atas rumah, Dini, seperti embun-embun yang berumah pada cahaya matahari. Tak ada pula yang akan terlalu sombong untuk menawarkan alamat untuk singgah kepadamu, paling tidak kata-kata itu; ia pun akan bisa menjadi rumah untukmu. Atau, kenapa tak kita coba untuk bersetia membangun rumah bersama, seperti kali ini. Tak perlu ada baris-baris janji di sini, karena seperti juga yang katamu dalam puisi itu: "yang kubutuhkan (pun adalah) kesedihan di mana kita bisa berdoa bersama."
**
26 April 1998: 01.13
Ada telefon tadi pagi (25/4), dari seorang teman SMA. Kini dia tinggal di Palembang. Dia mesti datang ke Bandung berhubung kakaknya akan menikah di sini esok hari. Kami tak bicara lama, "Besok saja," katanya. Dia bermaksud mengundang saya --dan beberapa teman lain-- agar bisa menyempatkan diri datang ke pesta pernikahan itu. Dulu, kami pun sering saling berkirim surat, kartu lebaran, dan kartu ulang tahun, atau sekadar kartu pos. Tapi itu dulu, ketika saya dan dia masih suka bercentil ria. Ia pun, meminjam istilahmu, mungkin telah menjelma sebagai wanita abad 21 yang harus menjadi sandera peradaban itu. Entahlah. Sudah terlalu lama saya tidak bermuka-muka dengannya.
Kebiasaan saya di setiap Sabtu sore, untuk kali tadi tidak saya penuhi. Sudah lebih dari satu bulan ini saya harus cukup puas hanya membolak-balik buku di Gramedia. Dan itu tentu saja sangat menyebalkan. Sementara, sekian buku dalam daftar saya semakin bertambah panjang. Bagaimana saya harus mengatasi problem ini? Celakanya, beberapa tulisan yang saya harapkan bisa segera dimuat, seperti raib begitu saja. Ya, mungkin minggu ini. Saya harap begitu.
Di luar, saya dengar mulai ada rintik gerimis ....

Dini yang baik,

Ketika saya membaca satu bagian paragraf pertamamu di surat bertanggal 20 April itu, saya jadi teringat dengan sebuah syair yang tersimpan dalam mahabbah cinta-nya Rabi'ah Al-adawiyah. Demikian tulis Rabi'ah dalam syairnya:
alangkah sedihnya perasaandimabuk cinta
hatinya menggelepar menahan dahaga rindu
cinta digenggam walau apa yang terjadi
kalau terputus, ia sambung seperti mula
lika-liku cinta, terkadang bertemu surga
menikmati pertemuan indah dan abadi
tapi tak jarang bertemu nerakadalam pertarungan yang tiada berpantai
Bilakah kini dirimu sebenarnya tengah berupaya untuk menikmati pertemuan indah dan abadi itu, namun harus berada dalam sebuah pertarungan yang tiada berpantai, Dini? Di sini, memang ada saat-saat ketika kita harus berdiri di sebuah tepian yang begitu kecut untuk bisa kita lewati. Namun, mungkinkah Ia sebenarnya tengah berencana karena menghendaki agar hidup kita lebih sempurna? Saya sendiri terkadang merasa tengah berada di tepian seperti itu, Dini. Ya, dalam keadaan demikian, seringkali saya hanya bisa menyimpan harap, semoga ada seseorang nun jauh di sana yang kini tengah khusyuk berdoa untuk saya.
Dini yang baik, Malam ini, di luar, masih juga rintik gerimis itu....

Wassalam,Moh. Syafari Firdaus