Friday, February 22, 2013

PENYIAPAN KETERWAKILAN PEREMPUAN 30 PERSEN, GAGAL LAGI?


Daftar Caleg Sementara (DCS) akan diserahkan pada tanggal 10 April 2013. Untuk meraih kuota 30 persen perempuan,  mengajukan kandidat perempuan dalam DCS secara strategis menjadi penting.  Dalam 3 bulan ini, partai harus bekerja keras, untuk mencari Calon Legislatif (Caleg) perempuan yang berkualitas – mampu menang dan mampu memperjuangkan kepentingan masyarakat yang diwakilinya- serta mencari strategi  untuk membantu Caleg  perempuan yang berkualitas tersebut untuk terpilih.

Di pemberitaan media ( 17/1), memberitakan Parpol Terancam Gagal Pemilu, Bila tidak Penuhi Keterwakilan Perempuan. KPU menegaskan bahwa syarat keterwakilan perempuan minimal 30 persen di daftar Caleg sudah diatur dalam UU No 8 Tahun 2012 Tentang Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD. KPU mendorong keterwakilan 30 persen perempuan, tidak hanya dari jumlah keseluruhan Caleg yang didaftarkan. Namun berdasarkan alokasi kursi di daerah pemilihan ( Dapil). Bila sebuah partai belum memenuhi kuota 30 persen di sebuah dapil, KPU akan menyatakan  partai tersebut tidak memenuhi syarat sebagai peserta pemilu di Dapil yang bersangkutan.

Syarat ini masih dirasakan berat, karena tidak sekedar hanya komitmen affirmative, namun  realitasnya masih sulit mencari perempuan yang berkualitas yang berminat menjadi Caleg terutama di  Kabupaten/Kota. Sanksi diskualifikasi bagi partai yang tidak memenuhi syarat, nampaknya masih ditawar partai berdasar argumentasi di atas.  Dari paparan ini nampak partai memiliki kesulitan penyediaan (supply)  dalam menyediakan kandidat dari kalangan perempuan.

Menakar Keberanian Perempuan di Daerah Menjadi Caleg

Untuk menjawab persoalan tersebut, ada dua sisi yang harus didorong, demand side dan supply side. Dari segi demand, keputusan KPU tersebut mendorong partai memiliki demand terhadap calon perempuan didasarkan, bahwa perempuan merupakan sebagian besar pemilih serta memiliki kepentingan-kepntingan untuk diperjuangkan. Dalam segi supply, harus diupayakan mendorong perempuan di tingkat daerah untuk terlibat aktif di politik.

Giatnya perempuan dalam aktifitas keagamaan dan social, seringnya konflik yang terjadi, mahalnya ongkos politik, pencitraan yang kurang baik anggota legislative yang terpilih di politik membuat perempuan enggan terlibat dalam politik dan memilih jalur aman dengan kontribusi yang lebih terlihat nyata di berbagai organisasi social.

Politik harus dapat diimajinasikan dan dibuktikan sebagai tempat untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat termasuk perempuan dan anak-anaknya.  Keterlibatan menjadi penting, agar perempuan yang aktif di sector public dan kebijakan dapat memperjuangkan masyarakat, serta kepentingan-kepentingan perempuan miskin dan di domestic untuk diperjuangkan di parlemen.


Peran Partai, Lebih Proaktif dan Terbuka

Politik merupakan seni memihak mana yang akan menang. Dalam system Pemilu dengan  system suara terbanyak.  Berdasarkan disertasi salah satu petinggi PDI-P, Pramono Anung (2013),  probabilitas tertinggi yang terpilih adalah artis dan pengusaha,  karena popular serta cukup punya dana. Dalam hal ini, posisi  Caleg perempuan yang biasanya tidak memiliki modal akan terseok-seok. Biasanya partai yang memang harus berupaya memenangkan pertarungan, cenderung memilih calon dengan tingkat probabilitas  terpilih tinggi yang biasanya calon laki-laki.

Berdasarkan pengalaman dalam melakukan verifikasi factual, kesulitan partai di daerah dalam menemukan Calon Perempuan yang berkualitas adalah minimnya pengurus partai melakukan pemetaan  tokoh-tokoh perempuan potensial untuk aktif di partai politik, baik sebagai pengurus maupun untuk menjadi Caleg.

Terengah-engahnya partai melakukan kaderisasi dan menjadikan partai wahana penggodokan calon pemimpin baik di tingkat nasional dan daerah. Menyulitkan partai mendapatkan kader-kader perempuan terbaiknya. Partai sebenarnya dapat mengadakan pengkaderan secara reguler baik dilakukan oleh partai maupun oleh organisasi-organisasi sayap partai untuk menjaring caleg perempuan berkualitas bila dilakukan pengkaderan secara dini.

Perlunya Pemberian ruang  yang dibangun atas kesadaran yang cukup dari petinggi partai baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah. Karena untuk beberapa partai yang memiliki kader baik, namun bila tidak diberi ruang dan kepercayaan untuk memenangkan dan memperjuangkan, maka ruang ini akan tetap kosong. Bilapun kader perempuan dicalonkan, tidak lebih hanya untuk memenuhi syarat KPU, semacam pencalonan kandidat perempuan yang lebih procedural disbanding substansial. Partai secara sadar, membuka ruang.

Selain pengkaderan serta pemberian ruang bagi kader, partai juga dapat membuka Caleg dari luar yang berminat serta melakukan pendekatan kepada Caleg-Caleg perempuan yang potensial di daerahnya untuk menjadi salah satu Caleg, sehingga membuka ruang bagi kemungkinan keterwakilan.

Untuk memenuhi  keterwakilan 30 persen, keterlibatan parpol tidak hanya komitmen jumlah Caleg 30 persen, namun juga pemikiran dan strategi agar caleg perempuan dan potensial bila dipadukan dengan competitor lainnya, dapat meningkatkan keterwakilan di lembaga legislatif.

Mengimajinasikan Politik baru, Perempuan baru

Dalam kondisi dimana jumlah perempuan yang tertarik tidak cukup banyak ini, nampaknya perempuan Indonesia harus didorong terus untuk terlibat . Sistem pemilu yang cenderung individual dan mengedepankan modal dapat diatasi lebih kreatif. Perempuan di politik Indonesia harus menjadi perempuan baru, yang memiliki kesadaran, kepercayaan dan kekuatan untuk mentransformasi berbagai sumber daya yang dimilikinya menjadi jumlah suara sebagai bentuk kepercayaan untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan masyarakat yang lebih nyata.

Perempuan-perempuan potensial di sebuah wilayah harusnya sudah dimasukkan dalam database perempuan potensial oleh partai untuk didekati, kemudian didampingi dalam strategi pemenangan  serta diberi ruang untuk berkompetisi yang fair  dan tumaninah dan tidak hanya dijadikan vote getter suara perempuan untuk kemudian ditinggalkan.

Dalam ajang pemilu 2014, bila ingin meraih keterwakilan 30 persen perempuan di Legislatif, perlu lebih dari sekedar langkah biasa. Perlu sebuah terobosan, tidak hanya normative namun juga kreatif  di kedua belah pihak, baik perempuan maupun pihak partai politik.

Bila tidak ada kerja keras di Pihak Partai dan Caleg perempuan potensial untuk terlibat memperjuangkan keterwakilan dalam Daftar  Caleg Sementara, saya pesimis bahwa keterwakilan 30 persen yang diperjuangkan sejak tahun 2004, akan gagal lagi.

*Dini Mentari, Pemerhati  Keterwakilan Perempuan di Politik, Wasekjen DPP PPP.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home