Sunday, September 27, 2015

Perempuan dan Pilkada

Dini Mentari
Aktivis Perempuan


PEMILUKADA serentak pertama pada 9 Desember 2015 nanti akan menjadi event penting dalam perubahan kepemimpinan lokal Indonesia. Sebanyak 269 daerah, 260 kabupaten/kota, dan 9 provinsi akan memilih kepala daerah masing-masing. Tentu ini momentum mengingat beberapa kepala daerah yang cukup reformis, mampu, dan berkualitas dapat mengubah impian warganya menjadi nyata. 

Sebut saja Ridwan Kamil, Risma, bupati Bantaeng, dan juga duo Jokowi-Ahok. Dengan demikian, ini merupakan saat pemilih memilih kepala daerah yang dianggap layak dan pas untuk membangun daerah seperti harapan mereka.

Pemilihan pemilukada serentak ini cukup signifikan mengingat daerah yang akan melakukan pemilihan sekitar 60% dari seluruh daerah kabupaten/kota. Diprediksi, pemilukada serentak ini akan menghabiskan biaya Rp5 triliun—Rp7 triliun dana dari APBD, tidak termasuk dana yang dikeluarkan para calon yang tentunya tidak kalah banyak. 

Kita berharap pemilukada yang besar ini akan bermanfaat bagi kemajuan daerah serta warganya. Tidak seperti dalam pemilu legislatif, ketika peran dan keterlibatan perempuan di legislatif dipertanyakan kuantitasnya, serta didorong untuk mencapai keterwakilan 30% baik di DPR maupun di tingkat DPRD provinsi serta kabupaten/kota. 

Di pemilukada ini, permasalahan perempuan cukup adem ayem, tidak banyak yang mengemukakan pentingnya keterlibatan perempuan dalam pemilukada. Padahal, statistik Indonesia secara umum menyebutkan pemilih perempuan sekitar 50% di pemilu legislatif. Juga terbukti di pemilu, perempuan memilih paling rajin serta setia dalam memilih calon yang diyakini dapat mewakili kepentingannya. 
Beberapa hal yang menurut saya menarik untuk dicermati dalam kaitan pemilukada serta peran perempuan dalam pesta demokrasi memilih pemimpin daerah masing-masing.

Calon Perempuan
Bila tiap-tiap daerah diperkirakan memiliki tiga calon pasangan di 273 daerah tersebut, kira-kira akan ada sekitar 1.500—2.000 calon kepala daerah dan wakil kepala daerah di seluruh Indonesia. Minimnya pasangan calon kepala daerah perempuan yang berani maju membuat isu tentang jumlah pasangan calon perempuan tidak berani untuk ditampilkan. 

Arena kompetisi yang cukup tajam, kapasitas kepemimpinan, stamina, pressure, dan strategi politik yang cukup tinggi, juga dana yang besar untuk kampanye dan pemenangan, membuat perempuan-perempuan tidak berani memajukan diri menjadi kandidat. Padahal, bila perempuan maju menjadi kandidat, diharapkan aspirasi perempuan dapat disuarakan, selain bisa menginspirasi perempuan lain untuk berani memimpin masyarakat. 

Selain itu, diharapkan pemimpin perempuan memiliki keberpihakan terhadap kaum yang selama ini tak tersuarakan, tapi sangat dekat dengan kehidupan perempuan, anak, lansia, dan lainnya. Dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum melalui peraturannya telah mendorong implementasi UU Pemilu bahwa dana kampanye dan sosialisasi calon didukung oleh pemerintah. 

Dengan begitu, kandidat perempuan dapat mengurangi pengeluarannya bila berminat maju. Namun, calon perempuan yang berminat untuk maju bisa dihitung dengan jari. Masih ada waktu 1,5 bulan lagi untuk pendaftaran, diharapkan masih ada waktu bagi para kandidat perempuan untuk mencalonkan diri.
Perempuan Pemilih 

Target di pemilukada serentak ini sebanyak 78,5% pemilih akan berpartisipasi aktif. Target itu berat mengingat di pilpres, partisipasi pemilih sebanyak 75%. Dari target 78,5% itu biasanya porsi perempuan pemilih setengah dari jumlah penduduk di wilayah tersebut.

Diharapkan, perempuan pemilih yang berpartisipasi lebih banyak lagi dan memahami pemilukada ini sebagai sebuah kesadaran substantif dan tidak sekadar prosedural, bahwa pemilihan ini akan berkontribusi terhadap perubahan kualitas kehidupan. 

Hal itu bisa dilakukan dengan berusaha mengenal calon-calon yang diajukan sehingga pemilih perempuan dapat memilih calon terbaik, yang dianggap mampu menerjemahkan visi-misi ke dalam kenyataan dan sesuai dengan harapan masyarakatnya.

Perempuan yang memilih dapat mendorong dengan mengorganisasikan perempuan dalam komunitas kelompok pemilih atau dengan mengefektifkan organisasi dan kelompok perempuan yang telah ada di wilayah masing-masing. 

Kelompok perempuan juga dapat menginisiasi pendidikan pemilih yang lebih kreatif sehingga masyarakat tidak menganggap pemilu ini hal yang membosankan dan tidak berguna sehingga apatis. Arena pemilihan yang fun dan kreatif juga bisa membuat proses pemilihan menjadi sesuatu yang menyenangkan, di samping menyadarkan. Proses yang murah, tapi mendekatkan calon kepada pemilih. 

(dimuat di Media Indonesia, 9 Juni 2015)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home