PENYIAPAN KETERWAKILAN PEREMPUAN 30 PERSEN, GAGAL LAGI?
Daftar
Caleg Sementara (DCS) akan diserahkan pada tanggal 10 April 2013. Untuk meraih
kuota 30 persen perempuan, mengajukan
kandidat perempuan dalam DCS secara strategis menjadi penting. Dalam 3 bulan ini, partai harus bekerja
keras, untuk mencari Calon Legislatif (Caleg) perempuan yang berkualitas –
mampu menang dan mampu memperjuangkan kepentingan masyarakat yang diwakilinya-
serta mencari strategi untuk membantu
Caleg perempuan yang berkualitas
tersebut untuk terpilih.
Di pemberitaan
media ( 17/1), memberitakan Parpol Terancam Gagal Pemilu, Bila tidak Penuhi
Keterwakilan Perempuan. KPU menegaskan bahwa syarat keterwakilan perempuan
minimal 30 persen di daftar Caleg sudah diatur dalam UU No 8 Tahun 2012 Tentang
Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD. KPU mendorong keterwakilan 30 persen
perempuan, tidak hanya dari jumlah keseluruhan Caleg yang didaftarkan. Namun
berdasarkan alokasi kursi di daerah pemilihan ( Dapil). Bila sebuah partai
belum memenuhi kuota 30 persen di sebuah dapil, KPU akan menyatakan partai tersebut tidak memenuhi syarat sebagai
peserta pemilu di Dapil yang bersangkutan.
Syarat
ini masih dirasakan berat, karena tidak sekedar hanya komitmen affirmative, namun realitasnya masih sulit mencari perempuan
yang berkualitas yang berminat menjadi Caleg terutama di Kabupaten/Kota. Sanksi diskualifikasi bagi
partai yang tidak memenuhi syarat, nampaknya masih ditawar partai berdasar
argumentasi di atas. Dari paparan ini nampak
partai memiliki kesulitan penyediaan (supply)
dalam menyediakan kandidat dari kalangan perempuan.
Menakar Keberanian Perempuan di Daerah
Menjadi Caleg
Untuk
menjawab persoalan tersebut, ada dua sisi yang harus didorong, demand side dan supply side. Dari segi demand, keputusan KPU tersebut mendorong
partai memiliki demand terhadap calon perempuan didasarkan, bahwa perempuan
merupakan sebagian besar pemilih serta memiliki kepentingan-kepntingan untuk
diperjuangkan. Dalam segi supply,
harus diupayakan mendorong perempuan di tingkat daerah untuk terlibat aktif di
politik.
Giatnya
perempuan dalam aktifitas keagamaan dan social, seringnya konflik yang terjadi,
mahalnya ongkos politik, pencitraan yang kurang baik anggota legislative yang
terpilih di politik membuat perempuan enggan terlibat dalam politik dan memilih
jalur aman dengan kontribusi yang lebih terlihat nyata di berbagai organisasi
social.
Politik
harus dapat diimajinasikan dan dibuktikan sebagai tempat untuk memperjuangkan
kepentingan masyarakat termasuk perempuan dan anak-anaknya. Keterlibatan menjadi penting, agar perempuan
yang aktif di sector public dan kebijakan dapat memperjuangkan masyarakat,
serta kepentingan-kepentingan perempuan miskin dan di domestic untuk
diperjuangkan di parlemen.
Peran Partai, Lebih Proaktif dan Terbuka
Politik
merupakan seni memihak mana yang akan menang. Dalam system Pemilu dengan system suara terbanyak. Berdasarkan disertasi salah satu petinggi
PDI-P, Pramono Anung (2013),
probabilitas tertinggi yang terpilih adalah artis dan pengusaha, karena popular serta cukup punya dana. Dalam
hal ini, posisi Caleg perempuan yang
biasanya tidak memiliki modal akan terseok-seok. Biasanya partai yang memang
harus berupaya memenangkan pertarungan, cenderung memilih calon dengan tingkat
probabilitas terpilih tinggi yang
biasanya calon laki-laki.
Berdasarkan
pengalaman dalam melakukan verifikasi factual, kesulitan partai di daerah dalam
menemukan Calon Perempuan yang berkualitas adalah minimnya pengurus partai melakukan
pemetaan tokoh-tokoh perempuan potensial
untuk aktif di partai politik, baik sebagai pengurus maupun untuk menjadi
Caleg.
Terengah-engahnya
partai melakukan kaderisasi dan menjadikan partai wahana penggodokan calon
pemimpin baik di tingkat nasional dan daerah. Menyulitkan partai mendapatkan
kader-kader perempuan terbaiknya. Partai sebenarnya dapat mengadakan
pengkaderan secara reguler baik dilakukan oleh partai maupun oleh
organisasi-organisasi sayap partai untuk menjaring caleg perempuan berkualitas
bila dilakukan pengkaderan secara dini.
Perlunya
Pemberian ruang yang dibangun atas
kesadaran yang cukup dari petinggi partai baik di tingkat nasional maupun di
tingkat daerah. Karena untuk beberapa partai yang memiliki kader baik, namun
bila tidak diberi ruang dan kepercayaan untuk memenangkan dan memperjuangkan,
maka ruang ini akan tetap kosong. Bilapun kader perempuan dicalonkan, tidak
lebih hanya untuk memenuhi syarat KPU, semacam pencalonan kandidat perempuan
yang lebih procedural disbanding substansial. Partai secara sadar, membuka
ruang.
Selain
pengkaderan serta pemberian ruang bagi kader, partai juga dapat membuka Caleg
dari luar yang berminat serta melakukan pendekatan kepada Caleg-Caleg perempuan
yang potensial di daerahnya untuk menjadi salah satu Caleg, sehingga membuka
ruang bagi kemungkinan keterwakilan.
Untuk
memenuhi keterwakilan 30 persen,
keterlibatan parpol tidak hanya komitmen jumlah Caleg 30 persen, namun juga
pemikiran dan strategi agar caleg perempuan dan potensial bila dipadukan dengan
competitor lainnya, dapat meningkatkan keterwakilan di lembaga legislatif.
Mengimajinasikan Politik baru, Perempuan
baru
Dalam
kondisi dimana jumlah perempuan yang tertarik tidak cukup banyak ini, nampaknya
perempuan Indonesia harus didorong terus untuk terlibat . Sistem pemilu yang
cenderung individual dan mengedepankan modal dapat diatasi lebih kreatif.
Perempuan di politik Indonesia harus menjadi perempuan baru, yang memiliki kesadaran,
kepercayaan dan kekuatan untuk mentransformasi berbagai sumber daya yang dimilikinya
menjadi jumlah suara sebagai bentuk kepercayaan untuk memperjuangkan
kepentingan-kepentingan masyarakat yang lebih nyata.
Perempuan-perempuan
potensial di sebuah wilayah harusnya sudah dimasukkan dalam database perempuan
potensial oleh partai untuk didekati, kemudian didampingi dalam strategi
pemenangan serta diberi ruang untuk
berkompetisi yang fair dan tumaninah dan
tidak hanya dijadikan vote getter suara perempuan untuk kemudian ditinggalkan.
Dalam
ajang pemilu 2014, bila ingin meraih keterwakilan 30 persen perempuan di
Legislatif, perlu lebih dari sekedar langkah biasa. Perlu sebuah terobosan,
tidak hanya normative namun juga kreatif
di kedua belah pihak, baik perempuan maupun pihak partai politik.
Bila
tidak ada kerja keras di Pihak Partai dan Caleg perempuan potensial untuk
terlibat memperjuangkan keterwakilan dalam Daftar Caleg Sementara, saya pesimis bahwa
keterwakilan 30 persen yang diperjuangkan sejak tahun 2004, akan gagal lagi.
*Dini
Mentari, Pemerhati Keterwakilan
Perempuan di Politik, Wasekjen DPP PPP.