Friday, April 22, 2011

Geliat Mendorong Anggaran Responsif Gender di Birokrasi Kita







Gaung kuota 30 persen masih terasa , ratusan perempuan di pemilu 2009 dan 2014, tampil menjadi calon anggota legislative di berbagai tingkatan kepemerintahan. Citra bahwa perempuan tidak aktif di politik bergeser, wajah parlemen dan pemimpin daerah memperlihatkan tampilnya perempuan di parlemen kita. Sisi lain, masyarakat pun menjadi terbuka dan terbiasa menerima pemimpin dari kalangan perempuan.
Namun bagaimana geliat perempuan di birokrasi kita?, perempuan di pemerintah kini berjuang untuk mendapatkan posisi-posisi strategis, meski dibandingkan jumlahnya masih minim. Dimana jumlah pegawai di kepemerintahan berkisar 40% adalah perempuan, namun yang menduduki jabatan pimpinan masih minim, 4 menteri, 1 orang gubernur dan berbagai posisi di walikota, bupati dan pejabat Eselon I.
Selain menduduki jabatan-jabatan di birokrasi, berbagai Kementrian mencoba menggerakan birokrasi melalui tugas-tugas dalam merencanakan program dan anggaran ( gender budget) yang memberikan manfaat yang setara bagi perempuan dan laki-laki baik di Nasional maupun di tingkat local yakni di tingkat provinsi dan kabupaten. Langkah yang awalnya diinisiasi oleh kalangan aktifis perempuan di kalangan masyarakat sipil ini, telah memperlihatkan keberhasilan cara untuk mengefektifkan anggaran dan merealokasikannya untuk kepentingan perempuan dan orang-orang yang menjadi beban perempuan terutama perempuan miskin.
Langkah yang coba ditempuh oleh pemerintah dan aktifis perempuan di kepemerintahan adalah mengupayakan adanya kebijakan Peraturan Menteri Keuangan 104/2010 yang mendorong agar anggaran dan program kegiatan di Kementrian dan Lembaga yang jumlah APBNnya kira-kira 1000 trilyun, pelan namun pasti diperjuangkan agar lebih adil terhadap kepentingan perempuan dan laki-laki melalui instrument gender budget statement (GBS), serta instrument lainnya. Kebijakan ini menjadi upaya scaling-up ( perluasan) dari keberhasilan yang telah didapatkan. Kebijakan ini telah didorong dari tahun 2009 di tingkat nasional. Serta akan meluas pada tahun 2012 ke pemerintah daerah di tingkat local.
Arti penting kebijakan ini, kebijakan-kebijakan di tingkat nasional yang menitikberatkan pada pembangunan tingkat nasional serta upaya koordinasi akan lebih memiliki sensitifitas gender yang tinggi. Kementrian dan lembaga yang telah menginisasi dan menguji coba ini antara lain Kementrian Pendidikan, Kesehatan, Pekerjaan umum dan Pertanian dan lainnya . Kementrian dan Lembaga ini akan menjadi Kementrian yang menjadi role model lembaga yang memiliki rencana, kebijakan strategis, pedoman serta panduan-panduan bagi pelaksana teknis.
Tak kurang dari Departemen Pemberdayaan Perempuan serta kementrian lainnya berupaya membuat tim pengarusutamaan gender untuk mengecek RPJM, program dan anggaran agar dapat diarahkan lebih responsive gender, memenuhi kebutuhan bagi laki-laki dan perempuan. Upaya inovatif juga dilakukan dengan memberikan anugerah Parahita, bagi Kementrian/Lembaga dan Pemda yang telah melaksanakan program yang responsive gender. Contoh yang telah menerapkan adalah Kementrian Pekerjaan Umum.
Tak hanya di nasional, provinsi Jawa Tengah telah bergerak lebih cepat dengan mengeluarkan SK Gubernur mengenai integrasi pengarusutamaan gender dalam Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) serta telah melakukan sosialisasi ke seluruh kabupaten oleh tim yang terdiri dari eksekutif, akademisi dan kalangan LSM.
Upaya eksekutif banyak diantaranya dari kalangan perempuan ini membawa angin segar dalam perubahan kebijakan , dorongan birokrasi kini lebih memperhatikan kebutuhan perempuan dan beban –beban yang ditanggung perempuan miskin. Perempuan di birokrasi serta tim, meski masih alam tahap inisiasi nampak bersemangat, terlihat dari aktifitas yang dilakukan di berbagai kementrian. Berbagai kegiatan dilakukan , ternyata SBY yang didukung oleh pemilih perempuan untuk kemenangannya, ternyata mencoba memperhatikan kepentingan pemilih perempuannya.
Tantangan Kemudian: Bagaimana di Lapangan?
Namun uji coba, menjadikan anggaran dan program yang lebih adil ini, bukan tanpa halangan. Mesin birokrasi adalah mesin yang dampaknya signifikan, bisa jadi bila ini digerakkan dengan baik, akan menghasilkan perubahan. Tantangannya, dorongan kebijakan dan niat baik , perlu dikawal implementasinya di lapangan. BIsa jadi dilakukan sendiri oleh pemerintah , namun nampaknya lebih efektif jika dikolaborasikan dengan kekuatan para aktifis perempuan dari kalangan masyarakat sipil serta kalangan perempuan yang kini di parlemen sebagai jejaring untuk memantau apakah program dan anggaran dikucurkan sesuai rencana, sehingga dampak-dampaknya lebih terasa.
Tantangan lain yang dihadapi adalah membuat ini menjadi sistemik. Karena struktur birokrasi membutuhkan pendekatan teknokratis, perempuan di birokrasi dan pendukungnya diharapkan dapat menurunkan konsep-konsep pemetaan kebutuhan dan perbedaan laki-laki dan perempuan, mendapatkan data terpilah, menciptakan instrument yang sesuai dan menyebarkan peningkatan kemampuan analisis gender serta menyiapkan perangkat monitoring dan evaluasinya.
Selain itu, untuk kebijakan-kebijakan yang sangat sensitive seperti kenaikan harga BBM, ketahanan pangan, dan lainnya, diharapkan birokrasi mempertimbangkan dampaknya bagi kalangan perempuan miskin dan yang terpinggirkan.
Inisiatif ini , tidak mudah dan tentu tidak akan menghasilkan perubahan karena membutuhkan waktu yang panjang. Ke depan, dorongan rencana dan implementasi tidak hanya di birokrasi di tingkat nasional namun juga birokrasi di tingkat local. Agar perempuan terutama yang miskin yang berada di desa-desa, dapat merasakan ‘geliat birokrasi yang lebih responsif’ terutama karena kebutuhan akses pelayanan dasar pendidikan dan kesehatan yang sangat bersinggungan terhadap kebutuhan praktis perempuan kini dalam UU No 32/2004 , wewenangnya berada di tingkat daerah.
Dini Mentari, Direktur PATTIRO Institute.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home